Minggu, 20 November 2016

Cerita Nikah Hayalku

Dia rela menjabat tangan dengan kabut yang kelak berangkat jauh oleh hembusan hawa tidak kasat mata Hayalku fana, tidak kau tahukah itu ? Saat itu hujan rintik-rintik, langitnya menyilam Kita juga saja tabah menyambungkan asa di atasnya, tapi tidak tahu buat apa. ketika itu, candamu terbias jingga, entah, entah tujuannya apa. Hayalku fana, kau harus tahu itu.


Tak kau tahukah percakapan persoalan periode depanmu itu melelahkan asaku? karena dikarenakan saya tahu, bukanlah saya yg jadi bagiannya di sana. jadi untuk apa, Tuan ? pada apa sekarang ini kita merangkai asa bernaung di jarak burik yg putus asa di senja yang bisu ini? aku pun tidak tahu, Tuan.

“Aku mencintaimu,” utusmu waktu itu. saat itu rintik-rintik, tapi kau memvonis objek yg halal tak merintik, tidak berjeda, setara saja.

Aku diam saja, dikala itu rintik-rintik, tapi sunyiku asli tidak merintik, tak berjeda, jujur saja. sunyi saja, kau masih merasakan itu, tapi kau tidak meramaikan hening ini, hening yg haram berjalan di celah kita. tidak ada prosesi nikah siri diantara kita.

“Aku mencintaimu,” utusmu ketika itu. ketika itu hujan deras, tapi kau menetapkan sesuatu yg menimba membimbangkan di benakku. tak kedengaran percaya seperti hujan deras yang menubruk tekstur dgn sejuta aqidah serta ketiba-tibaan.

Aku lagi berdiam diri saja, ketika itu hujan deras, tapi sunyiku, Tuan, mampu terdengar lebih merusuk Dan kau tidak merasa terusik sebab kenyaringan sunyiku ini. Sunyiku menggumpal di bunbunan kepalaku, kau tak ingin tahu.

Hayalku fana. aku tidak tahu, mana yg real Hayalku rela memeluk kabut yg sanggup saja dihembuskan bumantara kapan pula Hayalku fana, tidak apa jikalau kau tidak mau tahu, Tuan.

“Aku tidak bisa dengan denganmu lagi utusmu disaat itu. kala itu hujannya beram memekakan telinga sekali, petir bersahutan. Kita sedang bersahutan, tapi pada lara.

Aku tak membisu aku berbisik pelan, “Hayalku fana.”

“Kata-kata cintaku bukanlah Hayalmu, Tatiana,” katamu.

“Lalu apa?”

“Hayalmu yaitu selalu mengenai rasa cintamu kepadaku, dan kau memandang mustahak sawab Hayalmu yaitu itu semua bukan kata-kata cintaku,” katamu berulang tak wirawan menatap mataku. tak jantan berhadapan denganku lagi.

Kau bertolak tak ada kata kata perceraian tak serta perhatian terakhir kali yg dulu bisa membuatku keluar (kendaraan) dikarenakan matamu samuderaku. Kau bertolak meninggalkanku di pangkalan biru bersama berjuta rasa ketiba-tibaan. saya membisu bersama kosong mendengar alunan hujan, petirnya mengamuk terus tapi kali ini akbar sekali. Dan saya lagi mengadukan “Hayalku fana.”

Masih menyampaikan “Hayalku fana.” Sebelum hujan bergeser aku tahu saya telah harus bangkit mulai sejak halte ini. “Hayalku fana,” ucapku sekali semula memperhatikan vlek hujan terakhir yg jatuh Hujannya mengembik lara, menolak tumbang berkeberatan terpecah bulirnya. jika saya yaitu bintil hujan terakhir itu, aku pastikan saya baik-baik saja.

“Aku baik-baik saja,” aku mengulangi. “Hayalku fana,” saya mengulanginya sampai nafasku surut pada malam.

0 komentar:

Posting Komentar